Meningkatnya ketergantungan Indonesia pada bahan bakar impor telah meningkatkan seruan untuk mempercepat transisi ke bioetanol, dan para ahli memperingatkan bahwa ketahanan energi dan stabilitas fiskal negara ini berada dalam risiko kecuali ada tindakan segera yang diambil.
Tagihan impor bahan bakar Indonesia mencapai Rp654 triliun (US$39,2 miliar) pada tahun 2024, suatu tingkat yang digambarkan oleh para ahli energi sebagai “sangat mengkhawatirkan,” sehingga mendorong urgensi baru bagi rencana pemerintah untuk memperkenalkan campuran bioetanol skala besar mulai tahun 2027.
Pada Kagama Leaders Forum (KLF) di Jakarta pada Senin, 8 Desember 2025, para pemimpin industri, akademisi, dan pengambil kebijakan menekankan bahwa peralihan ke bioetanol yang diproduksi di dalam negeri dapat mengurangi impor secara signifikan jika Indonesia berhasil membangun ekosistem hulu-hilir yang terintegrasi.
Wakil Presiden Bidang Teknik & Rekayasa Perusahaan Energi Terbarukan Negara Pertamina NRE, Nanang Kurniawan, mengatakan penerapan E10 – campuran bahan bakar yang mengandung 10 persen etanol – dapat segera memangkas impor bahan bakar Indonesia.
“Setengah dari konsumsi bahan bakar nasional kita diimpor. Jika E10 diterapkan secara nasional, kita dapat mengurangi impor sekitar Rp100 triliun,” kata Nanang kepada Indonesia Business Post.
Dia menyebutkan bahwa dampak ekonomi akan melampaui penghematan biaya. “Mengurangi impor akan memperkuat ketahanan energi kita. Ketika kita tidak terlalu bergantung pada fluktuasi global, sistem kita akan menjadi lebih tangguh,” kata Nanang.
Dia menguraikan skala investasi yang diperlukan untuk perluasan kapasitas biotunnel. Fasilitas kecil yang memproduksi 30.000 kiloliter membutuhkan sekitar US$30 juta, sedangkan pabrik 100.000 kiloliter membutuhkan US$100 juta. Fasilitas yang lebih besar akan mendapatkan keuntungan dari skala ekonomi, sehingga menurunkan biaya per unit.
Bahan baku
Meskipun potensi ekonominya kuat, hambatan terbesar masih pada ketersediaan dan stabilitas bahan baku.
Produksi bioetanol sangat bergantung pada tebu, singkong, dan jagung, sehingga kesinambungan pasokan menjadi tantangan besar. Kurangnya koordinasi antara petani, pabrik pengolahan, dan produsen bioetanol telah menciptakan ketidakstabilan kronis.
“Bahan baku adalah inti masalahnya. Banyak pabrik bioetanol yang ada kurang dimanfaatkan karena pasokan bahan baku tidak konsisten,” kata Direktur Utama Medco Papua, Budi Basuki, dalam forum panel.
Dia mendesak pemerintah mengeluarkan peraturan yang menjamin alokasi bahan baku.
Tanpa perencanaan terpadu, ia mengingatkan, sektor ini akan terus menghadapi tantangan. Pertama, fluktuasi produksi akibat musim. Kedua, ketidakstabilan harga komoditas pertanian. Ketiga, persaingan kebutuhan pangan (dilema pangan vs bahan bakar). Keempat, kapasitas produksi industri yang tidak menentu.
Para ahli sepakat bahwa masa depan bioetanol bergantung pada integrasi penuh rantai pasokan dari petani hulu hingga distributor hilir.
Pendekatan yang terkoordinasi akan memungkinkan investasi yang ditargetkan pada lahan, pabrik pengolahan, dan logistik; menurunkan biaya produksi melalui skala ekonomi; dan perencanaan yang dioptimalkan untuk distribusi dan pencampuran
“Tanpa integrasi, setiap pemangku kepentingan menanggung biayanya sendiri, sehingga bioetanol menjadi kalah kompetitif dibandingkan bensin,” kata Budi.
Insentif pemerintah
Forum ini menggarisbawahi perlunya kebijakan nasional yang jelas mengenai:
* Standar pencampuran (E10, E20, dan seterusnya)
* Jaminan pasokan bahan baku
* Formula harga dan insentif pajak
* Peta jalan nasional jangka panjang
“Sinergi hulu-hilir membutuhkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk petani,” kata Irham dari Pusat Kajian Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada.
“Kami tidak bisa bekerja secara terpisah,” tambahnya.
Kagama (Gadjah Mada University Alumni Association) Leaders Forum #4, in collaboration with Medco Foundation, brought together a cross-sector coalition including: Pertamina NRE, Medco Energy, Pertamina Patra Niaga, PTPN, Toyota Motor Manufacturing Indonesia, UGM Center for Energy Studies
Kemitraan ini bertujuan untuk menyinkronkan penelitian, masukan kebijakan, kesiapan industri, dan strategi implementasi menjelang target tahun 2027.
“Kita harus menyatukan seluruh pemangku kepentingan untuk membangun kemandirian energi Indonesia melalui bioetanol,” kata Ketua Dewan Pengurus Kagama, Budi Karya Sumadi dalam sambutannya.
Seiring dengan upaya Indonesia untuk membatasi impor bahan bakar dan menjamin stabilitas energi jangka panjang, bioetanol kini muncul sebagai salah satu peluang paling strategis bagi negara ini.
Namun para ahli memperingatkan bahwa keberhasilan akan bergantung pada seberapa efektif Indonesia dapat menyinkronkan pertanian, pabrik, dan distributor bahan bakar serta memastikan aliran bahan mentah yang stabil.
Dengan dukungan luas dari industri, meningkatnya keterlibatan akademisi, dan target nasional yang telah ditetapkan, pemerintah berada di bawah tekanan yang semakin besar untuk memberikan kejelasan peraturan yang diperlukan untuk membawa Indonesia memasuki era energi dalam negeri yang berkelanjutan.
