Teknologi dapat membantu mengatasi “yatim” di Indonesia

Teknologi dapat membantu mengatasi “yatim” di Indonesia

Jakarta, Kompas – Kementerian Populasi dan Perkembangan Keluarga mencatat bahwa sekitar 80 persen anak -anak di Indonesia mengalami situasi yatim atau tidak adanya figur ayah dalam kehidupan mereka. Pengembangan teknologi dapat menjadi solusi untuk memecahkan jarak, meskipun kontak langsung dengan anak -anak masih harus dicoba.

Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Rahmat Hidayat mengatakan, fenomena yatim membutuhkan perhatian yang serius. Karena, peran ayah dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak sangat besar, terutama dalam membentuk karakter sebagai ketentuan untuk masa depan mereka.

“Kondisi ini sangat tidak menguntungkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak -anak, karena akan ada dampak negatif yang mungkin dialami anak -anak jika mereka menerima kasih sayang yang tidak mencukupi dari orang tua mereka,” kata Rahmat dalam sebuah pernyataan pers, dikutip pada hari Minggu (17/5/2025).

Ayah bukan hanya kehilangan figur ayah secara fisik, tetapi juga secara emosional.

Rahmat menekankan bahwa kehadiran seorang ayah sangat penting. Namun, budaya di Indonesia sebagian besar masih memposisikan ayah sebagai kepala keluarga, dan banyak ayah, yang merupakan pencari nafkah utama, dipaksa untuk bekerja di luar kota, di luar pulau, atau bahkan menjadi pekerja migran, terpisah dari istri dan anak -anak mereka.

Kemajuan teknologi dapat menjadi solusi; Komunikasi intensif melalui perangkat harus terus ditetapkan secara langsung antara orang tua dan anak -anak. Berusahalah untuk menghubungi anak Anda, jika memungkinkan melalui panggilan video, untuk berbagi apa pun dengan mereka.

“Sebenarnya, dalam lingkungan hidup saat ini, teknologi sangat membantu, membuatnya lebih mudah bagi orang tua untuk tetap hadir dalam kehidupan anak -anak mereka,” katanya.

Meskipun teknologi dapat membantu, kehadiran fisik seorang ayah di sisi anaknya tetap penting. Setiap ayah yang berjuang jauh dari anaknya harus meluangkan waktu untuk kembali secara berkala, merayakan reuni singkat dengan berbagi cerita dengan anak itu, dan berusaha untuk menghadiri setiap momen penting dalam kehidupan anak, seperti kelulusan mereka dari sekolah.

Kualitas pengasuhan dan kedekatan emosional dengan anak -anak harus terus dipertahankan. Orang tua harus memastikan bahwa anak -anak mereka adalah hadiah dari Tuhan. Oleh karena itu, kebutuhan seorang anak tidak dapat dipenuhi semata -mata dengan memberikan rezeki fisik dan material, tetapi melalui interaksi sehat yang menumbuhkan koneksi psikologis, mental, dan emosional yang bertahan hingga dewasa.

“Ketika kita berbagi dengan anak -anak kita, ketika kita bersama anak -anak kita menghadapi situasi seperti itu, itu menjadi momen kebersamaan dalam seluruh perjalanan hidup kita yang sangat penting,” katanya.

Teknologi dapat membantu mengatasi “yatim” di Indonesia

Dia menjelaskan bahwa anak -anak yang tidak menerima kasih sayang lengkap dari kedua orang tua akan mengalami dampak negatif. Misalnya, anak -anak cenderung menghabiskan waktu bermain dengan gadget dan membenamkan diri di media sosial, di mana tidak semua konten cocok untuk mereka.

Ini dapat diantisipasi dengan menghubungkan perangkat yang dimiliki oleh anak -anak dengan orang tua mereka sehingga setiap kegiatan anak -anak di dunia online dapat dipantau. Selain itu, juga perlu untuk menetapkan aturan penggunaan perangkat untuk anak -anak.

Selain itu, Rahmat menilai bahwa ayah yang tanpa ayah juga disebabkan oleh tantangan kehidupan ekonomi karena beban keuangan yang mengharuskan orang tua bekerja terlambat atau inefisiensi transportasi umum di daerah perkotaan yang membuat kehadiran ayah kurang intens dengan anak -anak mereka. Pemerintah perlu memperluas peluang kerja sehingga ayah tidak selalu harus bekerja di kota.

“Ini adalah tantangan bagi orang tua untuk mengubah pola pikir mereka dan mungkin bagi ibu untuk juga mengubah pola pikir mereka bahwa orang tua atau ayah masih perlu hadir dalam kehidupan anak -anak mereka,” kata Rahmat.

Seorang ayah membawa anaknya di Kebun Binatang Ragunan di Jakarta pada 25 Januari 2024. Kebun Binatang Ragunan dipenuhi pengunjung selama liburan Natal tahun 2024.

Sebelumnya, Menteri Populasi dan Pengembangan Keluarga Wihaji mengungkapkan bahwa 80 persen anak -anak Indonesia adalah ayah. Ayah hanya hadir ketika harus membayar untuk kebutuhan hidup dan pendidikan anak -anak, tanpa sentuhan emosional.

Dia khawatir bahwa generasi muda di masa depan akan dengan mudah ditekan, sensitif, dan kurang tangguh dalam menghadapi tantangan. Ini dikenal sebagai generasi stroberi, buah yang tampak indah dan menarik, namun mudah rusak dan dihancurkan jika diinjak atau ditekan.

“Salah satu dampaknya adalah karakter, jika tidak hati -hati itu bisa menjadi generasi stroberi. Kedua, itu mempengaruhi kepemimpinan,” kata Wihaji di Jakarta, Senin (5/5).

Mengutip situs web Kementerian Penduduk dan Pengembangan Keluarga, selain memanfaatkan teknologi untuk ayah yang jauh dari anak -anak mereka, keluarga juga dapat mencari panutan lain, seperti kakek, paman, atau mentor. Selanjutnya, memperkuat peran ibu; mengajarkan keterampilan sosial dan manajemen emosional sejak usia dini; mendorong anak -anak untuk terlibat dalam kegiatan positif seperti olahraga atau komunitas sosial; Dan jika perlu, berkonsultasi dengan psikolog atau terapis untuk membantu anak -anak mengatasi dampak emosional juga dapat bermanfaat.

Oleh karena itu, ayah bukan hanya kehilangan figur ayah secara fisik, tetapi juga secara emosional. Dampaknya bisa menjadi signifikan untuk perkembangan mental dan sosial anak. Penting bagi lingkungan sekitarnya untuk memberikan dukungan sehingga anak terus tumbuh dengan baik bahkan tanpa kehadiran seorang ayah dalam hidupnya.

Jakarta, Kompas – Kementerian Populasi dan Perkembangan Keluarga mencatat bahwa sekitar 80 persen anak -anak di Indonesia mengalami situasi yatim atau tidak adanya figur ayah dalam kehidupan mereka. Pengembangan teknologi dapat menjadi solusi untuk memecahkan jarak, meskipun kontak langsung dengan anak -anak masih harus dicoba.

Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Rahmat Hidayat mengatakan, fenomena yatim membutuhkan perhatian yang serius. Karena, peran ayah dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak sangat besar, terutama dalam membentuk karakter sebagai ketentuan untuk masa depan mereka.

“Kondisi ini sangat tidak menguntungkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak -anak, karena akan ada dampak negatif yang mungkin dialami anak -anak jika mereka menerima kasih sayang yang tidak mencukupi dari orang tua mereka,” kata Rahmat dalam sebuah pernyataan pers, dikutip pada hari Minggu (17/5/2025).

Ayah bukan hanya kehilangan figur ayah secara fisik, tetapi juga secara emosional.

Rahmat menekankan bahwa kehadiran seorang ayah sangat penting. Namun, budaya di Indonesia sebagian besar masih memposisikan ayah sebagai kepala keluarga, dan banyak ayah, yang merupakan pencari nafkah utama, dipaksa untuk bekerja di luar kota, di luar pulau, atau bahkan menjadi pekerja migran, terpisah dari istri dan anak -anak mereka.

Kemajuan teknologi dapat menjadi solusi; Komunikasi intensif melalui perangkat harus terus ditetapkan secara langsung antara orang tua dan anak -anak. Berusahalah untuk menghubungi anak Anda, jika memungkinkan melalui panggilan video, untuk berbagi apa pun dengan mereka.

“Sebenarnya, dalam lingkungan hidup saat ini, teknologi sangat membantu, membuatnya lebih mudah bagi orang tua untuk tetap hadir dalam kehidupan anak -anak mereka,” katanya.

Meskipun teknologi dapat membantu, kehadiran fisik seorang ayah di sisi anaknya tetap penting. Setiap ayah yang berjuang jauh dari anaknya harus meluangkan waktu untuk kembali secara berkala, merayakan reuni singkat dengan berbagi cerita dengan anak itu, dan berusaha untuk menghadiri setiap momen penting dalam kehidupan anak, seperti kelulusan mereka dari sekolah.

Kualitas pengasuhan dan kedekatan emosional dengan anak -anak harus terus dipertahankan. Orang tua harus memastikan bahwa anak -anak mereka adalah hadiah dari Tuhan. Oleh karena itu, kebutuhan seorang anak tidak dapat dipenuhi semata -mata dengan memberikan rezeki fisik dan material, tetapi melalui interaksi sehat yang menumbuhkan koneksi psikologis, mental, dan emosional yang bertahan hingga dewasa.

“Ketika kita berbagi dengan anak -anak kita, ketika kita bersama anak -anak kita menghadapi situasi seperti itu, itu menjadi momen kebersamaan dalam seluruh perjalanan hidup kita yang sangat penting,” katanya.

Teknologi dapat membantu mengatasi “yatim” di Indonesia

Dia menjelaskan bahwa anak -anak yang tidak menerima kasih sayang lengkap dari kedua orang tua akan mengalami dampak negatif. Misalnya, anak -anak cenderung menghabiskan waktu bermain dengan gadget dan membenamkan diri di media sosial, di mana tidak semua konten cocok untuk mereka.

Ini dapat diantisipasi dengan menghubungkan perangkat yang dimiliki oleh anak -anak dengan orang tua mereka sehingga setiap kegiatan anak -anak di dunia online dapat dipantau. Selain itu, juga perlu untuk menetapkan aturan penggunaan perangkat untuk anak -anak.

Selain itu, Rahmat menilai bahwa ayah yang tanpa ayah juga disebabkan oleh tantangan kehidupan ekonomi karena beban keuangan yang mengharuskan orang tua bekerja terlambat atau inefisiensi transportasi umum di daerah perkotaan yang membuat kehadiran ayah kurang intens dengan anak -anak mereka. Pemerintah perlu memperluas peluang kerja sehingga ayah tidak selalu harus bekerja di kota.

“Ini adalah tantangan bagi orang tua untuk mengubah pola pikir mereka dan mungkin bagi ibu untuk juga mengubah pola pikir mereka bahwa orang tua atau ayah masih perlu hadir dalam kehidupan anak -anak mereka,” kata Rahmat.

Seorang ayah membawa anaknya di Kebun Binatang Ragunan di Jakarta pada 25 Januari 2024. Kebun Binatang Ragunan dipenuhi pengunjung selama liburan Natal tahun 2024.

Sebelumnya, Menteri Populasi dan Pengembangan Keluarga Wihaji mengungkapkan bahwa 80 persen anak -anak Indonesia adalah ayah. Ayah hanya hadir ketika harus membayar untuk kebutuhan hidup dan pendidikan anak -anak, tanpa sentuhan emosional.

Dia khawatir bahwa generasi muda di masa depan akan dengan mudah ditekan, sensitif, dan kurang tangguh dalam menghadapi tantangan. Ini dikenal sebagai generasi stroberi, buah yang tampak indah dan menarik, namun mudah rusak dan dihancurkan jika diinjak atau ditekan.

“Salah satu dampaknya adalah karakter, jika tidak hati -hati itu bisa menjadi generasi stroberi. Kedua, itu mempengaruhi kepemimpinan,” kata Wihaji di Jakarta, Senin (5/5).

Mengutip situs web Kementerian Penduduk dan Pengembangan Keluarga, selain memanfaatkan teknologi untuk ayah yang jauh dari anak -anak mereka, keluarga juga dapat mencari panutan lain, seperti kakek, paman, atau mentor. Selanjutnya, memperkuat peran ibu; mengajarkan keterampilan sosial dan manajemen emosional sejak usia dini; mendorong anak -anak untuk terlibat dalam kegiatan positif seperti olahraga atau komunitas sosial; Dan jika perlu, berkonsultasi dengan psikolog atau terapis untuk membantu anak -anak mengatasi dampak emosional juga dapat bermanfaat.

Oleh karena itu, ayah bukan hanya kehilangan figur ayah secara fisik, tetapi juga secara emosional. Dampaknya bisa menjadi signifikan untuk perkembangan mental dan sosial anak. Penting bagi lingkungan sekitarnya untuk memberikan dukungan sehingga anak terus tumbuh dengan baik bahkan tanpa kehadiran seorang ayah dalam hidupnya.